Saturday, May 26, 2007

Seputar CADAR

bismillahirrahmanirrahim

1. APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH?
2. APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? ( 1/3 )(2/3) (3/3)

--------------------------------------------------------------

1. APAKAH MEMAKAI CADAR ITU BID'AH?

Pertanyaan:

Telah terjadi polemik dalam beberapa surat kabar di Kairo seputar
masalah "cadar" yang dipakai sebagian remaja muslimah, khususnya
para mahasiswi. Hal itu berawal dari keputusan Pengadilan Mesir
yang menangani tuntutan mahasiswi beberapa perguruan tinggi, yang
mengajukan tuntutan ke pengadilan karena merasa teraniaya
dengan keputusan sebagian dekan yang memaksa mereka melepas cadar
apabila masuk kampus.

Para mahasiswi itu mengatakan bahwa mereka siap membuka tutup wajah
mereka manakala diperlukan, apabila ada tuntutan dari pihak yang
bertanggung jawab, pada waktu ujian atau lainnya.

Seorang wartawan terkenal, Ustadz Ahmad Bahauddin, menulis
artikel - dalam surat kabar al-Ahram - yang isinya bertentangan
dengan keputusan pengadilan. Menurutnya, cadar dan penutup
wajah itu merupakan bid'ah yang masuk ke kalangan Islam dan umat
Islam. Hal ini diperkuat oleh salah seorang dosen al-Azhar, yang
mengaku bahwa dirinya adalah Dekan Fakultas Ushuluddin, dan sedikit
banyak tahu tentang peradilan.

Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan tentang masalah yang masih
campur aduk antara yang hak dan yang batil ini. Semoga Allah
berkenan memberikan balasan kepada Ustadz dengan balasan yang
sebaik-baiknya.

Jawaban:

Alhamdulillah, segala puji kepunyaan Allah, Rabb semesta alam.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasul
paling mulia, junjungan kita Nabi Muhammad saw., kepada
keluarganya, dan para sahabatnya.

Pada kenyataannya, mengidentifikasi cadar sebagai bid'ah yang
datang dari luar serta sama sekali bukan berasal dari agama dan
bukan dari Islam, bahkan menyimpulkan bahwa cadar masuk ke
kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah ilmiah
dan tidak tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk
perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan usaha
untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya.

Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun yang mengetahui
sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut
merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan apakah boleh
membuka wajah atau wajib menutupnya - demikian pula dengan hukum
kedua telapak tangan - adalah masalah yang masih diperselisihkan.

Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan
ahli fiqih, ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman dahulu
hingga sekarang.

Sebab perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan mereka
terhadap nash-nash yang berkenaan dengan masalah ini dan sejauh
mana pemahaman mereka terhadapnya, karena tidak didapatinya nash
yang qath'i tsubut (jalan periwayatannya) dan dilalahnya
(petunjuknya) mengenai masalah ini. Seandainya ada nash yang tegas
(tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan.

Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang
biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, dia berkata bahwa yang dimaksud
dengan "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" ialah pakaian
dan jilbab, yakni pakaian luar yang tidak mungkin disembunyikan.

Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau menafsirkan
"apa yang biasa tampak" itu dengan celak dan cincin. Penafsiran
yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan penafsiran yang
hampir sama lagi diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu,
kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin, terhadap
pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan"
disini ialah tempatnya. Ibnu Abbas berkata, "(Yang dimaksud ialah)
bagian wajah dan telapak tangan." Dan penafsiran serupa juga
diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.

Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari lengan
termasuk "apa yang biasa tampak" itu.

Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak secara
darurat, misalnya karena dihembus angin ataulainnya.1

Mereka juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu
dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah mereka, mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Ahzab: 59)

Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat
tersebut?

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan kebalikan
dari penafsirannya terhadap ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari
sebagian tabi'in - Ubaidah as-Salmani - bahwa beliau
menafsirkan "mengulurkan jilbab" itu dengan penafsiran praktis
(dalam bentuk peragaan), yaitu beliau menutup muka dan kepala beliau,
dan membuka mata beliau yang sebelah kiri. Demikian pula yang
diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.

Tetapi penafsiran kedua beliau ini ditentang oleh Ikrimah, maula
(mantan budak) Ibnu Abbas. Dia berkata, "Hendaklah ia (wanita)
menutup lubang (pangkal) tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan
mengulurkan jilbab tersebut atasnya."

Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita muslimah
dilihat oleh lelaki asing kecuali ia mengenakan kain di
atas kerudungnya, dan ia mengikatkannya pada kepalanya dan
lehernya."2

Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak
wajib bagi wanita muslimah menutupnya. Karena menurut saya,
dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang lain.

Disamping itu, banyak sekali ulama zaman sekarang yang sependapat
dengan saya, misalnya Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam
kitabnya Hijabul Mar'atil Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan
mayoritas ulama al-Azhar di Mesir, ulama Zaitunah di
Tunisia, Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama
Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.

Meskipun demikian, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulamasekarang
terhadap pendapat ini juga tidaklah benar,karena di kalangan
ulama Mesir sendiri ada yangmenentangnya.

Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara Teluk
menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya adalah ulama besar
Syekh Abdul Aziz bin Baz.

Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang pendapat ini,
mereka berpendapat kaum wanita wajib menutup mukanya. Dan
diantara ulama terkenal yang berpendapat demikian ialah ulama
besar dan da'i terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu
al-Ustadz Abul A'la al-Maududi dalam kitabnya al-Hijab.

Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang
mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis
kenamaan dari Suriah, Dr. Muhammad Sa'id Ramadhan al-Buthi, yang
mengemukakan pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu
billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .

Disamping itu, masih terus saja bermunculan
risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu yang
menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita
dengan mengatasnamakan agama dan iman agar mereka mengenakan
cadar, dan menganjurkan agar jangan patuh kepada ulama-ulama
"modern" yang ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
Barangkali mereka memasukkan saya kedalam kelompok ulama seperti ini.

Jika dijumpai diantara wanita-wanita muslimah yang merasa mantap
dengan pendapat ini, dan menganggap membuka wajah itu haram, dan
menutupnya itu wajib, maka bagaimana kita akan mewajibkan
kepadanya mengikuti pendapat lain, yang dia anggap keliru dan
bertentangan dengan nash?

Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan pendapatnya
kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang
menerapkan pendapat lain itu, serta menganggapnya sebagai
kemunkaran yang wajib diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah
sepakat mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap
masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.

Kalau kami mengingkari (menganggap munkar) pelaksanaan pendapat yang
berbeda dengan pendapat kami - yaitu pendapat yang muttabar dalam
bingkai fiqih Islam yang lapang - kemudian mencampakkan pendapat
tersebut dan tidak memberinya hak hidup, hanya semata-mata karena
berbeda dengan pendapat kami, berarti kami terjatuh kedalam hal
yang terlarang, yang justru kami perangi dan kami seru
manusia untuk membebaskan diri daripadanya.

Bahkan seandainya wanita muslimah tersebut tidak menganggap
wajib menutup muka, tetapi ia hanya menganggapnya lebih wara'
dan lebih takwa demi membebaskan diri dari perselisihan
pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah
yang akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih hati-hati
untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas dia dicela selama
tidak mengganggu orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan
(kepentingan) umum dan khusus?

Saya mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin yang menulis
masalah ini dengan tidak merujuk kepada sumber-sumber tepercaya,
lebih-lebih tulisannya ini dimaksudkan sebagai sanggahan
terhadap putusan pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara
kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat,
penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.

Boleh jadi karena dia bersandar pada sebagian
tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang
membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga dia menganggap
"cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan "pakaian
renang" yang sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.

Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang mengharamkan
memakai cadar bagi wanita secara umum, kecuali hanya pada waktu
ihram. Dalam hal ini mereka hanya berbeda pendapat antara yang
mengatakannya wajib, mustahab, dan jaiz.

Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang
berpendapat demikian, bahkan yang memakruhkannya pun tidak
ada. Maka saya sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam
sebagian ulama al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar)
sebagai telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau
sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan
yang mendalam mengenai Al-Qur'an, as-Sunnah, fiqih, dan ushul
Fiqih.

Kalau hal itu hanya sekadar mubah - sebagaimana pendapat yang
saya pilih, bukan wajib dan bukan pula mustahab - maka merupakan
hak bagi muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh bagi
seseorang untuk melarangnya, karena ia cuma melaksanakan
hak pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau
mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak
membahayakan seseorang. Ada pepatah Mesir yang menyindir orang yang
bersikap demikian:

"Seseorang bertopang dagu, mengapa Anda kesal terhadapnya?"

Hukum buatan manusia sendiri mengakui hak-hak perseorangan
ini dan melindunginya.

Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah yang komitmen
pada agamanya dan hendak memakai cadar, sementara diantara
mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan
pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya yang dapat
menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam
make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya
sebagai kebebasan pribadi. Padahal pakaian yang tipis, yang
menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian tubuh selain wajah
dan kedua tangan itu diharamkan oleh syara' demikian menurut
kesepakatan kaum muslim.

Kalau pihak yang bertanggung jawab di kampus melarang pakaian yang
seronok itu, sudah tentu akan didukung oleh syara' dan
undang-undang yang telah menetapkan bahwa agama resmi negara
adalah Islam, dan bahwa hukum-hukum syariat Islam merupakan
sumber pokok perundang-undangan.

Namun kenyataannya, tidak seorang pun yang melarangnya!

Sungguh mengherankan! Mengapa wanita-wanita yang berpakaian
tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat
orang lain kepada kemaksiatan dibebaskan saja tanpa ada seorang pun
yang menegurnya? Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan
celaan serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang
berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang tidak boleh
disia-siakan atau dibuat sembarang?

Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan sesudahnya.
Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan
untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan

Catatan kaki:


1 Lihat penafsiran ayat ini oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, al-Qurthubi,
dan pada ad-Durrul Mantsur (5: 41-42), dan lain-lain. ^
2 Lihat: ad-Durrul Mantsur, 5: 221-222, dan sumber-sumber terdahulu
mengenai penafsiran ayat tersebut

________________________________________________________________________________\
_____________

2. APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? ( 1/3 )


Pertanyaan:

Saya telah membaca tulisan Ustadz yang membela cadar dan
menyangkal pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa cadar itu
bid'ah, tradisi luar yang masuk ke dalam masyarakat Islam, dan
sama sekali bukan dari ajaran Islam. Ustadz juga menjelaskan bahwa
pendapat yang mewajibkan cadar bagi wanita itu terdapat dalam
fiqih Islam. Anda bersikap moderat terhadap persoalan cadar dan
wanita-wanita bercadar, meskipun kami tahu Anda tidak mewajibkan cadar

Sekarang kami mengharap kepada Anda - sebagaimana Anda telah bersikap
moderat mengenai wanita bercadar ini dari wanita yang suka
buka-bukaan, yang suka membuka aurat - agar Anda bersikap moderat
terhadap kami yang berjilbab (tetapi tidak bercadar) dan
saudara-saudara kami yang bercadar, termasuk terhadap kawan-kawan
mereka yang selalu menyerukan cadar. Mereka yang dari waktu ke
waktu tidak henti-hentinya menjelek-jelekkan kami, karena kami
tidak menutup wajah. Mereka beranggapan bahwa yang demikian itu
mengundang fitnah karena wajah merupakan pusat keindahan
(kecantikan). Oleh sebab itu, mereka berpendapat bahwa kami telah
menentang Al-Qur'an dan As-Sunnah serta petunjuk salaf karena kami
membiarkan wajah terbuka.

Kadang-kadang celaan ini dialamatkan kepada Anda sendiri, karena
Anda membela hijab (jilbab) dan tidak membela cadar. Demikian pula
yang dialamatkan kepada Fadhilah asy-Syekh Muhammad al-Ghazali.
Beberapa ulama mengemukakan sanggahan terhadap beliau melalui
beberapa surat kabar di negara-negara Teluk.

Kami harap Anda tidak menyuruh kami untuk membaca kembali tulisan
Anda dalam kitab al-Halal wal-Haram fil-lslam dan kitab Fatawi
Mu'ashirah meskipun dalam kedua kitab tersebut sudah terdapat
keterangan yang memadai. Namun, kami masih menginginkan tambahan
penjelasan lagi untuk memantapkan hujjah, menerangi jalan,
menghilangkan udzur, menghapuskan keraguan dengan keyakinan, serta
untuk menghentikan polemik dan perdebatan yang terus berlangsung
mengenai masalah ini.

Semoga Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan tulisan Anda.

Jawaban:

Tidak ada alasan bagi saya untuk diam dan merasa cukup dengan
apa yang pernah saya tulis sebelumnya.

Saya tahu bahwa perdebatan mengenai masalah-masalah
khilafiyah itu tidak akan selesai dengan adanya
makalah-makalah dan tulisan-tulisan lepas, bahkan dalam bentuk
sebuah buku (kitab) sekalipun.

Selama sebab-sebab perbedaan pendapat itu masih ada, maka ikhtilaf
(perbedaan pendapat) itu akan senantiasa ada diantara manusia,
meskipun mereka sama-sama muslim, patuh pada agamanya, dan ikhlas.

Bahkan kadang-kadang komitmen dan keikhlasan terhadap agama
menyebabkan perbedaan pendapat itu semakin tajam.
Masing-masing pihak ingin mengunggulkan dan memberlakukan pendapat
yang diyakininya benar sebagai ajaran agama yang akan
diperhitungkan dengan mendapatkan pahala (bagi yang
melaksanakannya) atau mendapatkan hukuman (bagi yang
melanggarnya).

Perbedaan pendapat itu akan terus berlangsung selama
nash-nashnya sendiri - yang merupakan sumber penggalian hukum -
masih menerima kemungkinan perbedaan pendapat tentang periwayatan
dan petunjuknya, selama pemahaman dan kemampuan manusia untuk
mengistimbath (menggali dan mengeluarkan) hukum masih
berbeda-beda, dan sepanjang masih ada kemungkinan untuk
mengambil zhahir nash atau kandungannya, yang tersurat atau
yang tersirat, yang rukhshah (merupakan keringanan) ataupun yang
'azimah (hukum asal), yang lebih hati-hati atau yang lebih mudah.

Perbedaan pendapat akan senantiasa muncul selama manusia masih ada
yang bersikap ketat seperti Ibnu Umar dan ada yang bersikap longgar
seperti Ibnu Abbas; dan selama diantara mereka masih ada orang
yang menunaikan shalat ashar di tengah jalan dan ada yang tidak
menunaikannya melainkan di perkampungan Bani Quraizhah (setelah
sampai di sana).

Adalah merupakan rahmat Allah bahwa perbedaan pendapat seperti
ini tidak terlarang dan bukan perbuatan dosa, dan orang yang
keliru dalam berijtihad ini dimaafkan bahkan mendapat pahala satu.
Bahkan ada orang yang mengatakan, "Tidak ada yang salah dalam
ijtihad-ijtihad furu'iyah ini, semuanya benar."

Para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik
juga sering berbeda pendapat antara yang satu dengan yang lain
mengenai masalah-masalah furu' (cabang) dalam agama, namun mereka
tidak menganggap hal itu sebagai bahaya. Mereka tetap bersikap
toleran, dan sebagian mereka shalat di belakang sebagian yang lain,
tanpa ada yang mengingkari.

Dengan menyadari bahwa perbedaan pendapat itu akan
senantiasa ada, maka saya harus menjawab pertanyaan ini, dan saya
akan mengulangi tema tersebut dengan menambahkan penjelasan.
Mudah-mudahan Allah memberi taufik kepada saya hingga mampu
mengungkapkan perkataan yang benar, yang dapat memutuskan
perselisihan atau - minimal - mengurangi ketajamannya, yang
melunakkan kekerasannya sehingga hati wanita yang berhijab (tetapi
tidak bercadar) merasa riang dan memudahkan urusan bagi yang
mengumandangkan cadar (untuk memakainya).

MEMPERLIHATKAN MUKA DAN TANGAN MENURUT PENDAPAT JUMHUR ULAMA

Ingin segera saya tegaskan disini tentang suatu hakikat yang
sebenarnya sudah tidak perlu penegasan, karena di kalangan ahli ilmu
hal itu sudah terkenal dan tidak samar lagi, sudah masyhur dan tidak
asing lagi, yaitu bahwa pendapat tentang tidak wajibnya memakai cadar
serta bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan bagi
wanita muslimah di depan laki-laki lain yang bukan muhrimnya adalah
pendapat jumhur fuqaha umat semenjak zaman sahabat r.a..

Karena itu tidak perlu dipertengkarkan, sebagaimana yang
ditimbulkan oleh sebagian yang ikhlas tetapi tidak berilmu
dan oleh sebagian pelajar dan ilmuwan yang bersikap ketat terhadap
pendapat yang dikemukakan seorang da'i kondang Syekh Muhammad
al-Ghazali dalam beberapa buku dan makalahnya. Mereka
beranggapan seakan-akan beliau membawa bid'ah atau pendapat
baru, padahal sebenarnya apa yang beliau kemukakan itu merupakan
pendapat imam-imam yang mu'tabar dan fuqaha yang andal,
sebagaimana yang akan saya jelaskan kemudian. Selain itu, apa yang
beliau kemukakan merupakan pendapat yang didukung oleh dalil-dalil
dan atsar, disandarkan pada penalaran dan i'tibar, dan didukung
pula oleh realitas dalam beberapa zaman.

MAZHAB HANAFI

Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi,
disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali wajah dan
telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul syahwat. Dan
diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau menambahkan dengan
kaki, karena pada yang demikian itu ada kedaruratan untuk mengambil
dan memberi serta untuk mengenal wajahnya ketika bermuamalah
dengan orang lain, untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya,
karena tidak adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.

Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah,

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya." (an-Nur: 31 )

Para sahabat pada umumnya berpendapat bahwa yang dimaksud ayat
tersebut ialah celak dan cincin, yaitu tempatnya (bagian tubuh
yang ditempati celak dan cincin). Hal ini sebagaimana telah saya
jelaskan bahwa celak, cincin, dan macam-macam perhiasan itu halal
dilihat oleh kerabat maupun orang lain. Maka yang dimaksud disini
ialah 'tempat perhiasan itu,' dengan jalan membuang mudhaf dan
menempatkan mudhaf ilaih pada tempatnya.

Beliau berkata, adapun kaki, maka diriwayatkan bahwa ia bukanlah
aurat secara mutlak, karena bagian ini diperlukan untuk berjalan
sehingga akan tampak. Selain itu, kemungkinan timbulnya syahwat
karena melihat muka dan tangan itu lebih besar, maka halalnya melihat
kaki adalah lebih utama.

Dalam satu riwayat disebutkan, kaki itu adalah aurat untuk
dipandang, bukan untuk shalat.1

MAZHAB MALIKI

Dalam syarah shaghir (penjelasan ringkas) karya ad-Dardir yang
berjudul Aqrabul Masalik ilaa Malik, disebutkan:

"Aurat wanita merdeka terhadap laki-laki asing, yakni yang bukan
mahramnya, ialah seluruh tubuhnya selain wajah dan telapak tangan.
Adapun selain itu bukanlah aurat."

Ash-Shawi mengomentari pendapat tersebut dalam Hasyiyah-nya, katanya,
"Maksudnya, boleh melihatnya, baik bagian luar maupun bagian
dalam (tangan itu), tanpa maksud berlezat-lezat dan
merasakannya, dan jika tidak demikian maka hukumnya haram."

Beliau berkata, "Apakah pada waktu itu wajib menutup wajah dan
kedua tangannya?" Itulah pendapat Ibnu Marzuq yang mengatakan
bahwa ini merupakan mazhab (Maliki) yang masyhur.

Atau, apakah wanita tidak wajib menutup wajah dan tangannya hanya si
laki-laki yang harus menundukkan pandangannya? Ini adalah pendapat
yang dinukil oleh al-Mawaq dari 'Iyadh.

Sedangkan Zurruq merinci dalam Syarah al-Waghlisiyah antara wanita
yang cantik dan yang tidak, yang cantik wajib menutupnya,
sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab.2

MAZHAB SYAFI'I

Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi'iyah, pengarang kitab
al-Muhadzdzab mengatakan:

"Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah aurat, kecuali
wajah dan telapak tangan - Imam Nawawi berkata: hingga
pergelangan tangan - berdasarkan firman Allah 'Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.'
Ibnu Abbas berkata, 'Wajahnya dan kedua telapak tangannya.'3

Disamping itu, karena Nabi saw. 'melarang wanita yang sedang ihram
mengenakan kaos tangan dan cadar'.4 Seandainya wajah dan telapak
tangan itu aurat, niscaya beliau tidak akan mengharamkan
menutupnya. Selain itu, juga karena dorongan kebutuhan untuk
menampakkan wajah pada waktu jual beli, serta perlu
menampakkan tangan untuk mengambil dan memberikan sesuatu,
karena itu (wajah dan tangan) ini tidak dianggap aurat.

Imam Nawawi menambahkan dalam syarahnya terhadap
al-Muhadzdzab, yaitu al-Majmu', "Diantara ulama Syafi'iyah ada yang
menceritakan atau mengemukakan suatu pendapat bahwa telapak kaki
bukanlah aurat. Al-Muzani berkata, 'Telapak kaki itu bukan
aurat.' Dan pendapat mazhab adalah yang pertama."5

MAZHAB HAMBALI

Dalam mazhab Hambali kita dapati Ibnu Qudamah mengatakan dalam
kitabnya al-Mughni (1: 601) sebagai berikut: Tidak diperselisihkan
dalam mazhab tentang bolehnya wanita membuka wajahnya dalam shalat,
dan dia tidak boleh membuka selain wajah dan telapak tangannya.
Sedangkan mengenai telapak tangan ini ada dua riwayat.

Para ahli ilmu berbeda pendapat, tetapi kebanyakan mereka sepakat
bahwa ia boleh melakukan shalat dengan wajah terbuka. Dan
mereka juga sepakat bahwa wanita merdeka itu harus mengenakan tutup
kepalanya jika melakukan shalat, dan jika ia melakukan shalat
dalam keadaan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangmya.

Imam Abu Hanifah berkata, "Kaki itu bukan aurat, karena kedua
kaki itu memang biasanya tampak. Karena itu, ia seperti wajah."

Imam Malik, al-Auza'i, dan Imam Syafi'i berkata, "Seluruh tubuh
wanita itu adalah aurat kecuali muka dan tangannya, dan selain itu
wajib ditutup pada waktu shalat, karena dalam menafsirkan ayat
,dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang
biasa tampak daripadanya," Ibnu Abbas berkata, 'Yaitu wajah dan
telapak tangan."

Selain itu, karena Nabi saw. melarang wanita berihram memakai
kaus tangan dan cadar. Andaikata wajah dan tangan itu aurat niscaya
beliau tidak akan mengharamkan menutupnya. Selain itu, karena
diperlukan membuka wajah dalam urusan jual beli, begitupun kedua
tangan untuk mengambil (memegang) dan memberikan sesuatu.

Sebagian sahabat kami berkata, "Wanita itu seluruhnya adalah aurat,
karena diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa wanita itu aurat."
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau berkata, "Hadits hasan
sahih." Tetapi beliau memberinya rukhshah (keringanan) untuk
membuka wajah dan tangannya karena jika ditutup akan menimbulkan
kesulitan. Dan diperbolehkan melihatnya pada waktu meminang karena
wajah itu merupakan pusat kecantikan. Dan ini adalah
pendapat Abu Bakar al-Harits bin Hisyam, beliau berkata, "Wanita itu
seluruhnya adalah aurat hingga kukunya."

Demikian keterangan dalam kitab al-Mughni.

MAZHAB-MAZHAB LAIN

Dalam menjelaskan berbagai pendapat ulama tentang masalah aurat,
Imam Nawawi mengatakan dalam kitabnya al-Majmu':

Aurat wanita itu ialah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangannya. Disamping Imam Syafi'i, yang berpendapat demikian adalah
Imam Malik, Abu Hanifah, al-Auza'i, Abu Tsaur, dan segolongan
ulama, serta satu riwayat dari Imam Ahmad.

Selain itu, Imam Abu Hanifah, Tsauri, dan al-Muzani berkata "Kedua
kakinya juga bukan aurat."

Imam Ahmad berkata, "Seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajahnya
saja"6

Ini juga merupakan pendapat Daud sebagaimana dikemukakan dalam
Nailul Authar (2: 55).

Adapun Ibnu Hazm, maka beliau mengecualikan wajah dantelapak
tangan, sebagaimana disebutkan dalam al-Muhalla, dan akan kami
kemukakan alasan-alasan yang beliau berikan.

Ini juga merupakan pendapat jamaah sahabat dan tabi'in
sebagaimana yang tampak jelas dalam penafsiran mereka terhadap
ayat "apa yang bisa tampak daripadanya" (an-Nur: 31).

DALIL-DALIL GOLONGAN YG MEMPERBOLEHKAN MEMBUKA WAJAH & TELAPAK TANGAN

Saya akan kemukakan beberapa dalil syar'iyah terpenting yang dijadikan
dasar oleh golongan yang berpendapat tidak wajib memakai cadar serta
boleh membuka wajah dan telapak tangan - yaitu jumhur ulama - seperti
berikut ini, dan insya Allah hal ini sudah memadai.

1. Penafsiran sahabat terhadap ayat "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya."

Jumhur ulama dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik (para tabi'in) menafsirkan firman Allah dalam surat
an-Nur ayat 31 ("Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya") bahwa yang dimaksud adalah "wajah dan
telapak tangan, atau celak dan cincin, serta perhiasan-perhiasan yang
serupa dengannya."

Al-Hafizh as-Suyuthi menyebutkan sejumlah besar pendapat mengenai
masalah ini dalam kitabnya Ad-durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma'tsur.

Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Anas mengenai firman Allah "dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa
tampak daripadanya," yang maksudnya adalah "celak dan cincin."

Sa'id bin Manshur, Ibnu Jarir, Abdullah bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan
al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. mengenai bunyi ayat
tersebut dengan "celak, cincin, anting-anting, dan kalung."

Abdur Razaq dan Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai
"kecuali apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "pemerah kuku dan
cincin."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim meriWayatkan dari
Ibnu Abbas mengenai "apa yang biasa tampak daripadanya," yaitu "wajah,
telapak tangan, dan cincin."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan
dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah "kecuali apa yang biasa tampak
daripadanya," yaitu "raut wajah dan telapak tangan."

Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan al-Baihaqi dalam
sunan-nya, meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa beliau pernah ditanya
mengenai perhiasan yang biasa tampak itu, lalu beliau menJawab,
"gelang dan cincin." Beliau mengatakan demikian sambil mengatupkan
ujung lengan bajunya.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman Allah
"kecuali apa yang biasa tampak daripadanya." Menurut beliau yang
dimaksud adalah "wajah dan lingkar leher (antara dua tulang selangka)."

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sa'id bin Jubair mengenai ayat tersebut
dengan penafsiran "wajah dan telapak tangan." Ibnu Jarir juga
meriwayatkan dari 'Atha mengenai ayat yang sama dengan penafsiran
"kedua telapak tangan dan wajah."

Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, menasirkan ayat tersebut
dengan "kedua gelang, cincin, dan celak." Menurut Qatadah, "Telah
sampai berita kepadaku bahwa Nabi saw. bersabda:

"Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
(untuk menampakkan tangannya) kecuali hingga ini, seraya beliau
memegang separo lengannya."

Abdur Razaq dan Ibnu Jarir, dari Ibnu Juraij, yang mengutip perkataan
Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud bunyi ayat "dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya"
adalah "cincin dan gelang."

Menurut Ibnu Juraij, Aisyah pernah berkata, "Anak perempuan dari
saudara laki-lakiku seibu, yaitu Abdullah bin Thufail, pernah masuk ke
tempatku dengan mengenakan perhiasan. Dia masuk ke tempat Nabi saw.,
kemudian beliau berpaling." Lalu Aisyah berkata "Sesungguhnya dia
adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dan dia seorang pembantu."
Kemudian beliau bersabda:

"Apabila seorang wanita telah dewasa, ia tidak boleh menampakkan
selain wajahnya dan selain yang di bawah ini."

Seraya beliau memegang lengannya sendiri, lalu beliau biarkan antara
pegangannya itu dengan telapak tangan sepanjang segenggam tangan."7

Namun, dalam hal ini Ibnu Mas'ud berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas,
Aisyah, dan Anas radhiyallahu 'anhum. Ibnu Mas'ud berkata, "Apa yang
biasa tampak itu ialah pakaian dan jilbab."

Menurut pendapat saya, penafsiran Ibnu Abbas dan yang sependapat
dengannya itu merupakan penafsiran yang rajih (kuat), karena
pengecualian dalam ayat "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya"
itu datang setelah larangan menampakkan perhiasan, yang hal ini
menunjukkan semacam rukhshah (keringanan) dan pemberian kemudahan,
sedangkan tampaknya selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar
lainnya sama sekali bukan rukhshah atau kemudahan, atau menghilangkan
kesulitan, karena tampak atau terlihatnya pakaian luar itu sudah
otomatis. Oleh karena itu, pendapat ini dikuatkan oleh ath-Thabari,
al-Qurthubi, ar-Razi, al-Baidhawi, dan lain-lainnya, dan ini merupakan
pendapat jumhur ulama.

Adapun al-Qurthubi menguatkan pendapat ini karena sudah lumrah wajah
dan tangan itu tampak baik dalam adat maupun dalam ibadah, seperti
dalam shalat dan haji. Oleh karena itu, tepatlah apabila istitsna'
(pengecualian) itu kembali kepadanya.

Pendapat ini dimantapkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud
bahwa Asma binti Abu Bakar pernah menghadap Nabi saw. dengan
mengenakan pakaian yang tipis, lalu Nabi saw. berpaling seraya berkata:

"'Wahai Asma, apabila wanita telah mengeluarkan darah haid (sudah
dewasa), maka tidak boleh tampak dari tubuhnya selain ini dan ini,'
dan beliau berisyarat kepada wajah dan kedua tangannya."

Memang, kalau hanya hadits ini saja tidak dapat dijadikan hujjah
karena kemursalannya dan kelemahan perawinya dari Aisyah, sebagaimana
yang sudah dimaklumi, tetapi ia mempunyai syahid (pendukung) dari
hadits Asma binti Umais sehingga kedudukannya menjadi kuat, ditambah
lagi dengan praktek kaum wanita pada zaman Nabi saw. dan para
sahabatnya. Oleh karena itu, pakar hadits al-Albani menghasankannya
dalam kitab-kitabnya, seperti: Hijab al-Mar'ah al-Muslimah, al-Irwa',
Shahih al-Jam'i ash-Shaghir, dan Takhrij al-Halal wal-Haram.

2. Perintah Mengulurkan Kerudung ke Dada, bukan ke Wajah Allah berfirman:

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ..."
(an-Nur: 31 )

Lafal al-khumuru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru, yaitu tutup
kepala, sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk jamak dari kata
jaibu, yaitu belahan dada pada baju atau lainnya. Maka wanita-wanita
mukminah diperintahkan menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya
sehingga dapat menutupi leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya
terlihat sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah.

Seandainya menutup muka itu wajib, niscaya dijelaskan dengan tegas
oleh ayat itu dengan memerintahkan wanita menutup wajahnya,
sebagaimana dengan tegas ayat itu memerintahkan mereka menutup
dadanya. Karena itu, setelah mengemukakan ayat ini Ibnu Hazm berkata,
"Maka Allah Ta'ala memerintahkan mereka (kaum wanita) menutupkan
kerudungnya ke dadanya, dan ini merupakan nash untuk menutup aurat,
leher, dan dada, dan ini juga merupakan nash yang memperbolehkan
membuka wajah, dan tidak mungkin dapat diartikan selain itu."8

3. Perintah kepada Laki-laki untuk Menahan Pandangan

Al-Qur'an dan As-Sunnah menyuruh laki-laki menahan pandangannya.
Firman Allah:

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat." (an-Nur: 30)

Sabda Nabi saw.:

"Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk kamu surga,
yaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah jika kamu diamanati,
dan tahanlah pandanganmu ...?"9

"Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan
pandangan(berikutnya), karena engkau hanya diperbolehkan
melakukanpandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan
yangkedua."10

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu kawin,
maka kawinlah, karena kawin itu lebih dapat menundukkan pandangan dan
memelihara kemaluan..." (HR al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud)

Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita harus memakai
cadar, maka apakah arti anjuran untuk menahan pandangan? Dan apakah
yang dapat dilihat oleh mata jika wajah itu tidak terbuka yang
memungkinkan menarik minat dan dapat menimbulkan fitnah? Dan apa
artinya bahwa kawin itu dapat lebih menundukkan pandangan jika mata
tidak pernah dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?

4. Ayat "meskipun kecantikannya menarik hatimu"

Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah:

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan
tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain),
meskipun kecantikannya menarik hatimu..." (al-Ahzab: 52)

Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita kalau
tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah disepakati merupakan
pusat kecantikan wanita?

5. Hadits: "Apabila salah seorang di antara kamu melihat wanita lantas
ia tertarik kepadanya."

Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahwa umumnya kaum wanita pada
zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai cadar, bahkan wajah mereka
biasa terbuka.

Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan
Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah melihat seorang wanita lalu
beliau tertarik kepadanya, kemudian beliau mendatangi Zainab -
istrinya - yang waktu itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau
melepaskan hasratnya, dan beliau bersabda:

"Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan pergi dalam
gambaran setan. Maka apabila salah seorang diantara kamu melihat
seorang wanita lantas ia tertarõk kepadanya, maka hendaklah ia
mendatangi istrinya, karena yang demikian itu dapat menghalangkan
hasrat yang ada dalam hatinya itu." (HR Muslim)11

Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu Mas'ud, tetapi
istri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah "Saudah," dan beliau
bersabda:

"Siapa saja yang melihat seorang wanita yang menarik hatinya, maka
hendaklah ia mendatangi istrinya, karena apa yang dimiliki wanita itu
ada pula pada istrinya."

Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadits Abi Kabsyah al-Anmari
bahwa Nabi saw. bersabda:

"Seorang wanita (si Fulanah) melewati saya, maka timbullah hasrat
hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah seorang istri
saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah hendaknya yang kamu
lakukan, karena diantara tindakanmu yang ideal ialah melakukan sesuatu
yang halal."12

Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya hadits ini
menunjukkan bahwa Rasul yang mulia melihat seorang wanita tertentu,
lantas timbul hasratnya terhadap wanita itu, sebagaimana layaknya
manusia dan seorang laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin
terjadi tanpa melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau
si Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan hasratnya
selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: "Apabila salah seorang
diantara kamu melihat seorang wanita lantas hatinya tertarik kepadanya
..." Maka menunjukkan bahwa hal ini mudah terjadi dan biasa terjadi.



Catatan kaki:

1 Al-Ikhtiyar li-Ta'lilil Mukhtar, karya Abdullah bin Mahmud bin
Maudud al-Maushili al-Hanafi, 4: 156. ^
2 Hasyiyah ash-Shawi 'alaa asy-Syarh ash-Shaghir, dengan ta'liq, Dr.
Mushthafa Kamal Washfi, terbitan Darul Mawarif, Mesir, 1: 289. ^
3 Imam Nawawi berkata dalam al-Majmu': "Tafsir yang disebutkan dari
Ibnu Abbas ini diriwayatkan oleh Baihaqi dari Ibnu Abbas dan dari
Aisyah juga." `^
4 Hadits ini tersebut dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu Umar r.a.
bahwa RasuluDah saw. Bersabda: "Janganlah wanita yang berihram memakai
cadar dan jangan memakai kaos tangan." ^
5 al-Majmu', 3: 167-168 ^
6 Al-Majmu', karya Imam Nawawi. 3: 169 ^
7 Periksa ad-Durul Mantsur oleh as-Suyuthi dalam menafsirkan ayat 31
surat an-Nur. ^
8 Al-Muhalla, 3: 279. ^
9 Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi dalam
asy-Syu'ab dari Ubadah, dan dihasankan dalam Shahih
al-Jami'ush-Shaghir, (1018). ^
10 HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim dari Buraidah, dan
dihasankan dalam Shahih al-Jami'ush-Shaghir (7953) ^
11 Dalam "Kitab an-Nikah"' hadits nomor 1403 ^
12 Disebutkan oleh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah,
nomor 235. ^

________________________________________________________________________________\
__________

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? ( 2/3 )



6. Hadits: "Lalu beliau menaikkan pandangannya dan mengarahkannya."

Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim
dari Sahl bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu
ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya datang hendak memberikan diri saya
kepadamu." Lalu Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan
pandangannya dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan
kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Rasulullah saw. tidak berminat
kepadanya, maka ia pun duduk.

Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi saw. tidak
mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya agak lama, dengan
menaikkan dan mengarahkan pandangannya (memandang ke atas dan ke
bawah, dari atas sampai bawah).

Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan pinangan.
Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan disebutkan bahwa dia
lantas duduk dalam kondisi seperti pada waktu dia datang. Maka
sebagian sahabat yang hadir dan melihat wanita tersebut meminta kepada
Rasulullah saw. agar menikahkannya dengan wanita itu.

7. Hadits al-Khats'amiyah dan al-Fadhl bin Abbas

Imam Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang wanita
dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah saw. pada waktu haji
wada' dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu membonceng Rasulullah saw.
Kemudian Imam Nasa'i menyebutkan kelanjutan hadits itu, "Kemudian
al-Fadhl melirik wanita itu, dan ternyata dia seorang wanita yang
cantik. Rasulullah saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain."

lbnu Hazm berkata, "Andaikata wajah itu aurat yang harus ditutup,
sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui (tidak membenarkan)
wanita itu membuka wajahnya di hadapan orang banyak, dan sudah pasti
beliau menyuruhnya melabuhkan pakaiannya dari atas. Dan seandainya
wajahnya tertutup niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah
wanita itu cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan
benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah dengan
sebanyak-banyaknya."

Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadits Ali r.a. yang di
situ disebutkan: "Dan Nabi saw. memalingkan wajah al-Fadhl. Lalu
al-Abbas bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa engkau putar leher anak
pamanmu?' beliau menjawab, 'Aku melihat seorang pemuda dan seorang
pemudi, dan aku tidak merasa aman terhadap gangguan setan kepada mereka.'"

Tirmidzi berkata, "Hadits (di atas) hasan sahih."13

Al-Allamah asy-Syaukani berkata:

"Dari hadits ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan bolehnya
melihat wanita ketika aman dari fitnah, karena Nabi saw. tidak
menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas tidak memahami bahwa
memandang itu boleh, niscaya ia tidak akan bertanya, dan seandainya
apa yang dipahami Abbas itu tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan
mengakuinya."

Selanjutnya beliau berkata:

"Hadits ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat hijab yang
disebutkan sebelumnya, yakni (yang artinya): "Apabila kamu meminta
sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah
dari belakang tabir." (al-Ahzab: 53).

Ayat tersebut khusus mengenai istri-istri Nabi saw., sebab kisah
al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada', sedangkan ayat hijab itu
turun pada waktu pernikahan Zainab, pada tahun kelima hijrah,14 (yang
berarti ayat ini lebih dulu turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.).

8. Hadits-hadits Lain

Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah yang
diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah, dia berkata:
Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari raya (Id), lalu beliau
memulai shalat sebelum khutbah .... Kemudian beliau berjalan hingga
tiba di tempat kaum wanita, lantas beliau menasihati dan mengingatkan
mereka seraya bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu
adalah umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang baik
yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu ia bertanya,
"Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:

"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan (dengan suami)."

Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka,
melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian Bilal."

Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu hitam
kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar?

Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id dari Ibnu
Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama Rasulullah saw., dan
beliau berkhutbah sesudah shalat, kemudian beliau datang kepada kaum
wanita bersama Bilal untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta
menyuruh mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat
mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan
(perhiasannya) ke pakaian Bilal."

Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw. melihat tangan
wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita itu
bukan aurat."15

Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan lafal ini
adalah lafal Abu Daud dari Jabir:

"Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu beliau
melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau mengkhutbahi orang
banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi saw. turun, lalu beliau
mendatangi kaum wanita seraya mengingatkan mereka, sambil bertelekan
pada tangan Bilal,' dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum
wanita melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita melemparkan
cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan wanita-wanita lain pun
melemparkann sedekahnya."16

Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah cincin-cincin besar
yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada jari-jari mereka seandainya
mereka tidak membuka tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka
dapat melepas dan melemparkan cincin-cincin itu."17

Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah menghadiri shalat
subuh bersama Nabi saw. sambil menyelimutkan selimut mereka. Kemudian
mereka pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan
shalat, sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari
masih gelap."

Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat dikenal
jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat dikenal apabila
wajah mereka terbuka.

Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwa Subai'ah
binti al-Harits menjadi istri Sa'ad bin Khaulah, salah seorang yang
turut serta dalam Perang Badar. Sa'ad meninggal dunia pada waktu haji
wada' ketika Subai'ah sedang hamil. Tidak lama setelah kematian Sa'ad
itu dia pun melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti
nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu datanglah Abus
Sanabil bin Ba'kuk kepadanya seraya bertanya "Mengapa aku lihat engkau
bersolek, barangkali engkau ingin kawin? Demi Allah, sesungguhnya
engkau belum boleh kawin, sehingga berlalu atasmu tenggang waktu
selama empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah dia
berkata begitu kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada sore
harinya, lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal
itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa aku telah
halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan kandunganku, dan beliau
menyuruhku kawin apabila sudah ada calon yang cocok untukku."

Hadits ini menunjukkan bahwa Subai'ah muncul dengan bersolek di
hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan mahramnya, bahkan
ia termasuk salah seorang yang melamarnya setelah itu. Seandainya
wajahnya tidak terbuka, sudah tentu Abus Sanabil tidak tahu apakah dia
bersolek atau tidak.

Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa seorang laki-laki
dilewati oleh seorang wanita dihadapannya, lalu dia memandangnya
dengan tajam, kemudian dia melewati suatu dinding lantas wajahnya
terbentur dinding, lantas dia datang kepada Rasulullah saw. sedangkan
mukanya berdarah, lalu dia berkata, Wahai Rasulullah, saya telah
berbuat begini dan begini." Lalu Rasulullah saw saw. bersabda:

"Apabila Allah menghendakõ kebaikan bagi seseorang, maka
disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia menghendaki yang
lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya hukuman atas dosa-dosanya
sehingga dibalasnya secara penuh pada hari kiamat seakan-akan dia itu
himar."18

Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu menampakkan atau terbuka
wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik pandangan
laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur dinding karena
memandangnya dan berdarah mukanya.

9. Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar

Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa apabila pada
suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka hal itu dianggap aneh,
menarik perhatian, dan menimbulkan pertanyaan,

Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata, "Seorang
wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi saw. sambil memakai
cadar (penutup muka) untuk menanyakan anaknya yang terbunuh. Lalu
sebagian sahabat Nabi berkata kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan
anak Anda sambil memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah
kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku ..."19

Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka tidak
perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan "memakai cadar,"
dan tidak ada artinya pula keheranan para sahabat dengan mengatakan,
"Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil memakai cadar?"

Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan malunyalah
yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena perintah Allah dan
Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu diwajibkan oleh syara', maka tidak
mungkin ia menjawab dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin
timbul pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu,
karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia melakukan
shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah ditetapkan dalam
kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak perlu ditanyakan 'illat-nya."

10.Tuntutan Muamalah Mengharuskan Mengenal/Mengetahui Pribadi yang
Bersangkutan

Muamalah (pergaulan) seorang wanita dengan orang lain dalam berbagai
persoalan hidup mengharuskan pribadinya dikenal oleh orang-orang yang
bermuamalah dengannya, baik sebagai penjual maupun pembeli, yang
mewakilkan maupun yang menjadi wakil, menjadi saksi, penggugat,
ataupun tergugat. Karena itu, para fuqaha telah sepakat bahwa seorang
wanita harus membuka wajahnya apabila sedang beperkara di muka
pengadilan, sehingga hakim bisa mengetahui personalia saksi dan
orang-orang yang beperkara. Seseorang (wanita) tidak mungkin dapat
diketahui atau dikenal identitasnya jika sebelumnya wajahnya tidak
dikenal oleh masyarakat. Maka tidak ada artinya bagi seorang wanita
membuka wajahnya di sidang pengadilan jika sebelumnya memang tidak
pernah dikenal oleh masyarakat di sekitarnya.

Dalil-dalil Golongan yang Mewajibkan Cadar

Setelah kita mengetahui dalil-dalil cemerlang dari jumhur ulama,
sekarang kita coba lihat dalil-dalil golongan minoritas yang menentangnya.

Sebetulnya saya tidak menemukan - bagi golongan yang mewajibkan cadar
dan menutup muka dan tangan - dalil syara' yang shahih tsubut (jalan
periwayatannya) dan sharihdilalahnya (jelas petunjuknya) yang selamat
dari sanggahan, yang sekiranya dapat melapangkan dada dan menenangkan
hati.

Semua dalil mereka merupakan nash-nash yang mutasyabihat (samar) yang
ditolak oleh nash-nash muhkamat dan bertentangan dengan dalil-dalil
yang jelas dan terang.

Berikut ini saya kemukakan beberapa dalil yang mereka anggap paling
kuat berikut sanggahan saya terhadapnya.

A. Penafsiran sebagian ahli tafsir terhadap ayat "jilbab" yang
termaktub dalam firman Allah berikut:

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan
istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab: 59)

Diriwayatkan dari beberapa mufasir (ahli tafsir) salaf mengenai
penafsiran "mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka" bahwa mereka
menutupkan jilbab mereka ke seluruh wajah mereka, dan tidak ada yang
tampak sedikit pun kecuali sebelah matanya untuk melihat.

Penafsiran tersebut di antaranya diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Ibnu
Abbas, dan Ubaidah as-Salmani. Tetapi, tidak ada kesepakatan mengenai
makna "jilbab" dan "mengulurkan" dalam ayat tersebut.

Yang mengherankan justru dijumpai penafsiran dari Ibnu Abbas yang
bertentangan dengan penafsiran tersebut ketika menafsirkan firman
Allah "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" (an-Nur: 31). Yang
lebih mengherankan lagi ialah sebagian ahli tafsir berbeda-beda dalam
menafsirkan surat al-Ahzab, tetapi mereka memilih penafsiran yang
justru bertentangan dengan penafsiran surat an-Nur.

Didalam Syarah Muslim dalam mensyarah hadits Ummu Athiyah tentang
shalat Id (artinya): "Salah seorang diantara kami tidak mempunyai
jilbab ..." Imam Nawawi berkata: "An-Nadhr bin Syamil berkata, 'jilbab
itu ialah kain (pakaian) yang lebih pendek tetapi lebih lebar daripada
kerudung, yaitu tutup kepala yang dipakai wanita untuk menutup
kepalanya. Ada juga yang mengatakan bahwa jilbab adalah pakaian yang
luas tetapi masih dibawah selendang, yang digunakan oleh wanita untuk
menutup dada dan punggungnya. Ada pula yang mengatakannya seperti
selimut. Ada yang mengatakannya sarung, serta ada pula yang
mengatakannya kerudung."20

Tetapi bagaimanapun, sesungguhnya firman Allah "hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka" tidak memastikan
menutup wajah, baik dilihat dari segi bahasa maupun dari segi adat
kebiasaan, dan tidak ada satu pun dalil dari Al- Qur'an As-Sunnah,
maupun ijma, yang menetapkan begitu. Disamping itu pendapat sebagian
ahli tafsir bahwa ayat itu memastikan menutup muka, bertentangan
dengan pendapat sebagian yang lain yang mengatakan bahwa ayat itu
tidak menetapkan menutup muka, sebagaimana yang dikatakan oleh
pengarang Adhwa'ui Bayan rahimahullah

Dengan demikian, pengajuan ayat tersebut sebagai dalil untuk
menetapkan kewajiban menutup wajah menjadi gugur.

B. Yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan firman Allah:
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa
tampak daripadanya," bahwa apa yang biasa tampak dari perhiasan itu
ialah selendang dan pakaian luar.

Penafsiran ini bertentangan dengan penafsiran yang sahih dari
sahabat-sahabat lain seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Aisyah, Anas, dan
para tabi'in bahwa yang dimaksud ialah celak dan cincin, atau bagian
tubuh yang ditempati celak dan cincin, yakni wajah dan tangan. Ibnu
Hazm mengemukakan bahwa ketetapan riwayat dari sahabat mengenai
penafsiran ini sangat sahih.

Penafsiran (yang kedua) ini didukung oleh keterangan yang dikemukakan
oleh Al-Allamah Ahmad bin Ahmad Asy-Syanqithi di dalam kitab Mawahibul
Jalil min Adillati Khalil, beliau berkata, "Barangsiapa yang
bergantung pada penafsiran Ibnu Mas'ud terhadap ayat 'kecuali yang
biasa tampak daripadanya' bahwa yang dimaksud ialah selimut, maka
dapat diberi jawaban: sebaik-baik perkara untuk menafsirkan Al-Qur'an
adalah Al-Qur'an, dan Al-Qur'an menafsirkan zinatul mar'ah dengan
al-huliyi (perhiasan). Allah SWT berfirman:

"... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31 )21

Maka nyatalah bahwa arti zinatul mar'ah ialah perhiasan (gelang kaki
dan sebagainya).22

Ini diperkuat pula dengan apa yang saya katakan sebelumnya bahwa
pengecualian dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk memberi keringanan
dan kemudahan. Sedangkan terlihatnya pakaian luar seperti selimut dan
sebagainya itu merupakan sesuatu yang pasti terlihat, bukan rukhshah
(keringanan) juga bukan pemberian kemudahan.

C. Apa yang dikemukakan oleh pengarang Adhwa'ul Bayan tentang berdalil
dengan firman Allah mengenai istri-istri Nabi:

"... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dan belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ..." (al-Ahzab: 53)

Sesungguhnya penetapan 'illat dari Allah terhadap hukum mewajibkan
hijab - karena hati laki-laki dan perempuan akan lebih suci dari
keragu-raguan sebagaimana tersebut dalam firman-Nya "yang demikian itu
lebih suci bagi hatimu dan hati mereka" - merupakan indikasi yang
jelas yang menunjukkan tujuan hukum. Karena tidak ada seorang pun
diantara kaum muslimin yang mengatakan bahwa selain istri-istri Nabi
saw. tidak memerlukan kesucian hati (tidak perlu disucikan hatinya)
dari keraguan/kecurigaan.

Namun demikian, apabila orang mau merenungkan makna dan susunan
kalimat ayat tersebut niscaya akan dia dapati bahwa "kesucian yang
disebutkan sebagai 'illat hukum bukanlah dari keraguan mereka (para
istri Nabi saw.), sebab keraguan semacam ini jauh dari mereka yang
memiliki kedudukan demikian luhur. Selain itu, tidak terbayangkan jika
di hati ummahatul mu'minin serta para sahabat - yang masuk ke tempat
mereka - terdapat keraguan atau kecurigaan seperti itu. Tetapi
kesucian itu semata-mata dari memikirkan perkawinan yang halal yang
kadang-kadang memang terlintas dalam hati salah satu pihak -
sepeninggal Rasulullah saw..

Sedangkan argumentasi mereka dengan ayat "maka mintalah kepada mereka
dari belakang tabir" tidaklah benar, karena hal ini khusus mengenai
istri-istri Nabi sebagaimana yang tampak dengan jelas. Demikian juga,
perkataan mereka: ("Yang dipakai ialah keumuman lafal, bukan khusus
yang berkaitan dengan sebabnya") tidaklah berlaku disini, sebab lafal
ayat tersebut bukan lafal umum. Begitupun halnya dengan qiyas yang
mereka lakukan - yang menyamakan semua wanita dengan istri-istri
Nabi-merupakan qiyas yang tertolak. Qiyas seperti itu termasuk qiyas
ma'a al-faariq (qiyas yang berantakan, tidak memenuhi syarat), karena
mereka (istri-istri Nabi) terkena hukum yang berat yang tidak
dikenakan kepada selain mereka. Karena itu Allah berfirman:

"Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain
..." (al-Ahzab: 32)

D. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dari Ibnu Umar
bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Janganlah wanita yang sedang ihram memakai cadar dan jangan memakai
kaos tangan."23

Hadits tersebut, menurut mereka, menunjukkan bahwa cadar dan kaos
tangan sudah terkenal di kalangan wanita yang tidak sedang ihram.

Saya tidak menyangkal bahwa sebagian wanita mengenakan cadar dan kaos
tangan atas kemauan mereka sendiri, ketika tidak sedang melakukan
ihram. Tetapi, mana dalil yang menunjukkan bahwa yang demikian itu
wajib? Bahkan kalau peristiwa atau hadits ini dijadikan dalil untuk
menunjukkan yang sebaliknya, maka itulah yang rasional, sebab
larangan-larangan dalam ihram itu pada asalnya adalah mubah, seperti
mengenakan pakaian yang berjahit, wangi-wangian, berburu, dan
sebagainya. Tidak ada sesuatu pun yang asalnya wajib kemudian dilarang
dalam ihram.

Karena itu, banyak fuqaha - sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya
- yang justru berdalil dengan hadits ini untuk menetapkan bahwa wajah
dan tangan itu bukan aurat; sebab kalau tidak demikian maka tidak
mungkin beliau mewajibkan membukanya (pada waktu ihram).

E. Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Aisyah, ia
berkata:

"Ada beberapa orang yang menunggang kendaraan yang melewati kami
ketika kami sedang berihram bersama Rasulullah saw.. Apabila mereka
berpapasan dengan kami, masing-masing kami mengulurkan jilbabnya dan
kepalanya ke atas wajahnya, dan apabila mereka telah melewati kami
maka kami buka jilbab itu."

Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena beberapa hal:

1. Hadits ini dha'if, karena di dalam isnadnya terdapat Yazid bin Abi
Ziyad, sedangkan dia menjadi pembicaraan. Sedangkan hadits dha'if
tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan hukum.

2. Apa yang dilakukan Aisyah dalam hadits ini (seandainya bersanad
sahih) tidak menunjukkan kepada wajib, karena perbuatan Rasul sendiri
tidak menunjukkan hukum wajib, maka bagaimana lagi dengan perbuatan
orang yang selain beliau?

3. Kita mengenal kaidah dalam ushul: "bahwa suatu kejadian yang
mengandung serba kemungkinan, maka ia adalah mujmal (global) karena
itu tidak dapat dijadikan dalil."

Dengan demikian, kemungkinan yang terjadi disini ialah bahwa hal itu
merupakan hukum khusus mengenai para ummul mu'minin (istri-istri Nabi
saw.) disamping hukum-hukum khusus lainnya untuk mereka, seperti
haramnya mengawini mereka sepeninggal Rasulullah saw., dan sebagainya.24

F. Riwayat Imam Tirmidzi secara marfu':

"Wanita itu aurat; apabila ia keluar maka ia didekati oleh setan."25

Sebagian ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menjadikan hadits ini sebagai
dasar untuk menetapkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, serta
mereka tidak mengecualikan wajah, tangan, dan kaki. Sebenarnya hadits
ini tidak menetapkan hukum secara menyeluruh sebagaimana yang mereka
kemukakan itu, tetapi hanya menunjukkan bahwa pada dasarnya wanita itu
terlindungi dan tertutup, tidak terbuka dan terhina. Dan hadits ini
cukup menetapkan bahwa sebagian besar tubuh wanita itu aurat.
Andaikata hadits ini hanya diambil pengertian lahiriahnya, niscaya
tidak boleh membuka sedikit pun tubuhnya dalam shalat dan haji, tetapi
hal ini bertentangan dengan dalil yang sahih dan meyakinkan - tentang
dibukanya wajah dan tangan dalam shalat dan haji.

Maka, bagaimana mungkin dapat digambarkan bahwa wajah dan tangan itu
aurat, padahal sudah disepakati tentang dibukanya pada waktu shalat
dan wajib membukanya pada waktu ihram? Apakah masuk akal bahwa syara'
memperbolehkan membuka aurat pada waktu shalat dan mewajibkan
membukanya pada waktu ihram - kalau wajah dan tangan itu termasuk aurat?

G. Ada dalil lain yang dipakai golongan yang mewajibkan cadar ini
apabila mereka tidak mendapatkan dalil nash yang muhkamat, yaitu
mereka menggunakan saddudz dzari'ah (menutup pintu kerusakan/usaha
preventif) . Inilah senjata mereka yang termasyhur apabila
senjata-senjata lainnya sudah tumpul.

Saddudz dzari'ah ini dimaksudkan untuk mencegah sesuatu yang mubah
karena dikhawatirkan akan terjatuh pada yang haram. Tetapi' hal ini
masih diperselisihkan oleh para fuqaha, antara golongan yang melarang
dan memperbolehkan (penggunan teori ini), serta antara yang
memperlapang dan mempersempit. Al-Allamah Ibnul Qayyim mengemukakan
sembilan alasan yang menunjukkan disyariatkannya saddudz dzari'ah ini
dalam kitab beliau llam al-Muwaqqi'in.

Tetapi, yang sudah menjadi ketetapan para muhaqqiq dari kalangan ulama
fiqih dan ushul ialah bahwa berlebih-lebihan dalam menutup
"pintu/jalan" sama dengan berlebih-lebihan dalam membukanya.
Berlebihan dalam membuka "jalan" akan mengakibatkan banyak kerusakan
yang membahayakan manusia dalam urusan agama dan dunia mereka.
Sedangkan berlebihan dalam menutup "jalan" akan menghilangkan banyak
sekali kemaslahatan manusia dalam urusan kehidupan dan urusan akhirat
mereka.

Apabila Asy-Syari' (Allah dan Rasul-Nya) telah membuka sesuatu dengan
nash dan kaidah, maka kita tidak boleh menutupnya dengan pemikiran dan
kekhawatiran-kekhawatiran kita, lantas kita halalkan apa yang telah
diharamkan Allah atau kita membuat syariat yang tidak diizinkan Allah.

Kaum muslim pada zaman dulu telah bersikap sangat ketat dengan alasan
"membendung pintu fitnah" (saddudz dzari'fah ila al-fitnah), lalu
mereka mengharamkan wanita pergi ke masjid. Dengan demikian, mereka
telah menghalangi kaumwanita untuk mendapatkan kebaikan yang banyak,
sedangkan ayah atau suaminya belum tentu dapat menggantikan apa-apa
yang seharusnya mereka dapatkan dari masjid, seperti ilmu yang
bermanfaat atau nasihat-nasihat yang dapat menyadarkannya. Sebagai
akibatnya, banyak wanita muslimah yang hanya hidup bersenang-senang
dengan tidak pernah sekali pun ruku kepada Allah. Padahal Rasulullah
saw. dengan tegas mengatakan:

"Janganlah kamu larang hamba-hamba perempuan Allah datang ke
masjid-masjid Allah." (HR Muslim)

Secara berkala terjadilah diskusi-diskusi di kalangan kaum muslim
seputar masalah kegiatan belajar kaum wanita dan kepergiannya ke
sekolah atau kampus. Yang menjadi hujjah golongan yang melarangnya
ialah saddudz dzari'ah. Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa
wanita yang berpendidikan lebih mampu membuat keterampilan dan
berbagai kesibukan tulis-menulis atau surat-menyurat. Akhirnya,
diskusi itu berkesudahan dengan keputusan bahwa kaum wanita boleh
mempelajari semua ilmu yang bermanfaat untuk dirinya, keluarganya, dan
masyarakatnya, baik mengenai ilmu agama maupun ilmu dunia, dan kondisi
inilah yang dominan di semua negara Islam tanpa ada seorang pun yang
mengingkarinya, kecuali hal-hal yang menyimpang dari adab dan hukum Islam.

Cukuplah bagi kita hukum-hukum dan adab-adab yang telah ditetapkan
oleh syara' untuk menutup pintu kerusakan dan fitnah. Seperti
kewajiban mengenakan pakaian menurut aturan syara', tidak boleh
bertabarruj (membuka aurat), haramnya berduaan antara laki-laki dan
perempuan, wajib bersikap serius dan sopan dalam berbicara, berjalan,
dan beraktivitas, serta wajib menahan pandangan terhadap lawan jenis.
Kiranya hal ini sudah cukup bagi kita sehingga tidak perlu lagi kita
memikirkan larangan-larangan lain dari kita sendiri.

H. Diantara dalil mereka lagi: 'urf (kebiasaan) yang berlaku di
kalangan kaum muslim selama beberapa abad, bahwa kaum wanita menutup
wajahnya dengan selubung muka, cadar, dan sebagainya.

Sebagian ulama berkata: "'Urf didalam syara' mempunyai penilaian,
karena itu diatasnya hukum ditegakkan."

Selain itu, Imam Nawawi dan lainnya telah meriwayatkan dari Imam
al-Haramain - dalam berdalil tentang tidak bolehnya wanita memandang
laki-laki - bahwa kaum muslim telah sepakat melarang wanita keluar
rumah dengan wajah terbuka.

Akan tetapi, saya tolak alasan dan anggapan ini dengan beberapa alasan
sebagai berikut:

1.Bahwa 'urf ini bertentangan dengan 'urf yang berlaku pada zaman
Nabi, zaman sahabat, dan pada zaman generasi terbaik, yaitu generasi
yang mengikuti jejak langkah para sahabat (yakni tabi'in).

2.Bahwa 'urf itu bukan 'urf umum, bahkan 'urf itu berlaku di suatu
negara tetapi tidak berlaku di desa-desa dan kampung-kampung,
sebagaimana yang sudah dimaklumi.

3.Bahwa perbuatan Nabi al-Ma'shum saw. tidak menunjukkan hukum wajib,
tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan pensyariatan sebagaimana
ditetapkan dalam ushul, maka bagaimana lagi dengan perbuatan orang lain?

Karena itu, 'urf atau kebiasaan ini - meskipun kita terima sebagai
'urf umum sekalipun - tidak lebih hanya menunjukkan bahwa mereka
menganggap bagus memakai cadar itu, sebagai sikap kehati-hatian
mereka, dan tidak menunjukkan bahwa mereka mewajibkan cadar sebagai
ketentuan agama.

4.'Urf ini bertentangan dengan 'urf atau kebiasaan yang terjadi
sekarang, sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman,
tuntutan kebutuhan hidup, tata kehidupan masyarakat, dan perubahan
kondisi kaum wanita dari kebodohan kepada keilmuan (berpengetahuan),
dari kebekuan kepada pergerakan, dan dari cuma duduk di dalam rumah
menuju ke aktivitas dalam berbagai lapangan yang bermacam-macam.

Sedangkan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan 'urf atau kebiasaan
di suatu tempat dan pada suatu waktu, ia akan berubah sesuai dengan
perubahannya.


Catatan kaki:

13 Sunan Tirmidzi, "Bab al-Haj," nomor 885 ^
14 Nailul Athar, 6: 126. ^
15 Al-Muhalla, 3: 280 ^
16 Hadits nomor 1141 dan Sunan Abi Daud, dan Imam Nasa'i juga
meriwayatkan hadits ini. ^
17 Al-Muhalla 11: 221 masalah nomor 1881. ^
18 Dikemukakan oleh al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid, 10: 192 dan
beliau berkata: "Diriwayatkan oleh Thabrani dan isnadnya bagus." Dan
kata al-'air di sini berarti al-himar. Sebelumnya beliau telah
menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan itu.^
19 HR Abu Daud dalam Sunan-nya pada "Kitab al-Jihad," nomor 2488. ^
20 Shahih Muslim Syarah Nawawi, 2: 542, terbitan Asy-Sya'b. ^
21 Yakni gelang kaki dan sebagainya. ^
22 Mawahibul Jalil, 1: 148, terbitan Idarah Ihya' at-Turats al-Islami.
Qathar. ^
23 Shahih al-Bukhari, 1: 316. ^
24 Mawahibul Jalil min Adiliati Kh alil 1: 185. `^
25 Imam Tirmidzi berkala: "Hadits ini hasan sahih." ^
________________________________________________________________________________\
___________

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB? ( 3/3 )



SYUBHAT TERAKHIR

Akhirnya saya kemukakan juga di sini suatu syubhat yang
ditimbulkan oleh sebagian orang yang peduli terhadap agama yang
ingin mempersempit ruang kebebasan wanita, yang ringkasnya
sebagai berikut:

"'Kami menerima argumentasi yang Anda kemukakan tentang
disyariatkan (diperbolehkan)-nya wanita membuka wajahnya,
sebagaimana kami juga menerima bahwa kaum wanita pada periode
pertama - masa Nabi dan Khulafa ar-Rasyidin - tidak memakai cadar
melainkan pada keadaan tertentu saja yang sedikit jumlahnya.

Tetapi kita harus mengerti bahwa zaman itu merupakan zaman yang
ideal, akhlaknya bersih, rohaniahnya tinggi, wanita aman membuka
wajahnya tanpa ada seorang pun yang mengganggunya. Berbeda
dengan zaman kita dimana kerusakan sudah merajalela, dekadensi
moral terjadi dimana-mana, fitnah menimpa manusia dimana-mana,
maka tidak ada yang lebih utama bagi wanita daripada menutup
wajahnya, sehingga tidak menjadi mangsa serigala-serigala lapar yang
senantiasa mengintainya di setiap penjuru."

Terhadap syubhat ini dapat saya kemukakan jawaban sebagai berikut:

PERTAMA: bahwa meskipun periode awal merupakan periode yang ideal,
yang tidak ada tandingannya dalam hal kesucian akhlak dan ketinggian
rohaninya, tetapi mereka masih termasuk periode manusia juga,
yang didalamnya ada kelemahan, hawa nafsu, dan kesalahan. Karena
itu di antara mereka ada orang yang berbuat zina, ada yang dijatuhi
hukuman had, ada yang melakukan tindakan-tindakan yang masih
dibawah zina, ada orang-orang yang durhaka, dan ada pula orang-orang
gila dan sinting yang suka mengganggu kaum wanita dengan melakukan
ulah-ulah yang menyimpang. Dan telah turun ayat (dalam surat al-Ahzab)
yang menyuruh wanita-wanita beriman mengulurkan jilbab ke tubuh
mereka agar mereka dapat dikenal sebagai wanita-wanita merdeka
yang sopan dan menjaga diri hingga tidak diganggu:

"... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak diganggu ..." (Al-Ahzab: 59)

Selain itu, telah turun pula beberapa ayat dalam surat al-Ahzab
yang mengancam kaum durhaka dan "sinting" itu jika mereka tidak mau
meninggalkan perbuatan mereka yang hina itu. Allah berfirman:

"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik,
orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, d n orang- orang yang
menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya kami
perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka kemudian mereka
tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu
yang sebentar, dialam keadaan terlaknat. Dimana saja mereka
dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya."
(al-Ahzab: 60-61)

KEDUA: bahwa dalil-dalil syariah - apabila telah sah dan
jelas-bersifat umum dan abadi. Ia bukan dalil untuk satu atau dua
periode saja, kemudian berhenti dan tidak dijadikan dalil lagi.
Sebab, jika demikian, maka syariat itu hanya bersifat temporal,
tidak abadi, dan hal ini bertentangan dengan predikatnya sebagai
syariat terakhir.

KETIGA: kalau kita buka pintu ini, maka kita bisa saja menasakh
(menghapus) syariat dengan pikiran kita, orang-orang yang
ketat dapat saja menasakh hukum-hukum yang mudah dan ringan dengan
alasan wara' dan hati-hati, dan orang-orang yang longgar dapat
menasakh hukum-hukum yang telah baku dengan alasan perkembangan zaman
dan sebagainya.

Yang benar, bahwa syariat adalah yang menghukumi bukan yang dihukumi,
yang diikuti bukan yang mengikuti, dan kita wajib tunduk kepada hukum
syariat, bukan hukum syariat yang tunduk kepada peraturan kita:

"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya ..."
(al-Mu'minun: 71 )

BEBERAPA PERNYATAAN YANG MENGUATKAN PENDAPAT JUMHUR

Saya percaya bahwa persoalan ini telah begitu jelas setelah saya
kemukakan argumentasi kedua belah pihak, dan semakin jelas bagi
kita bahwa pendapat jumhurlah yang lebih rajih (kuat) dalilnya, lebih
mantap pendapatnya, dan lebih lempang jalannya.

Namun demikian, perlu kiranya saya tambahkan disini beberapa
pernyataan yang menambah kuatnya pendapat jumhur, dan dapat melegakan
hati setiap muslimah yang taat dan mengikuti pendapat ini tanpa
merasa kesulitan, insya Allah.

PERTAMA: Tidak Ada Penugasan & Pengharaman Kecuali dg Nash yang Sahih
& Sharih

Bahwa pada dasarnya manusia itu terbebas dari tanggungan dan taklif
(beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan nash yang
pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan mengharamkan dalam
ad-Din itu merupakan suatu urusan yang serius, bukan urusan
sembarangan, sehingga kita tidak mewajibkan kepada manusia apa
yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau kita mengharamkan
kepada mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, atau kita
membuat syariat atau peraturan dalam ad-Din yang tidak diizinkan
oleh Allah.

Karena itu, para imam salaf dahulu sangat berhati-hati dalam
mengucapkan kata haram kecuali terhadap sesuatu yang sudah diketahui
pengharamannya secara pasti sebagaimana yang dikemukakan Imam
Ibnu Taimiyah dan saya sebutkan dalam kitab saya al-Halal wal-Haram
fil-Islam.

Disamping itu, pada asalnya segala sesuatu dan segala tindakan
yang merupakan adat kebiasaan adalah mubah. Maka apabila tidak
didapati nash yang shahih tsubut (periwayatannya) dan
sharih (jelas) petunjuknya yang menunjukkan keharamannya,
tetaplah hal itu pada asal kebolehannya. Dan orang yang
memperbolehkannya tidak dituntut dalil, karena apa yang ada menurut
hukum asal tidak perlu ditanyakan 'illat-nya, justru yang
dituntut agar mengemukakan dalil ialah orang yang mengharamkan.26

Sedangkan mengenai masalah membuka wajah dan tangan tidak saya
jumpai nash yang sahih dan sharih yang menunjukkan keharamannya.
Andaikata Allah hendak mengharamkannya niscaya sudah diharamkan-Nya
dengan nash yang jelas dan qath'i yang tidak meragukan, karena Dia
telah berfirman:

"... sesunguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya..."
(al-An'am: 119)

Sedangkan dari apa-apa yang telah dijelaskan-Nya tidak kita dapati
masalah haramnya membuka wajah dan telapak tangan. Maka tidak
perlulah kita mempersukar apa yang telah dimudahkan Allah,
sehingga kita tidak tergolong ke dalam kaum yang disinyalir oleh
Allah karena mengharamkan makanan yang halal:

"... Katakanlah: 'Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu
(tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?'"
(Yunus: 59)

KEDUA: Perubahan Fatwa karena Perubahan Zaman

Diantara ketetapan yang tidak diperselisihkan lagi ialah bahwa
fatwa itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, adat
kebiasaan, serta situasi dan kondisi.

Saya percaya bahwa zaman kita yang telah memberikan sesuatu kepada
kaum wanita ini telah menjadikan kita menerima pendapat-pendapat
yang mudah, yang menguatkan posisi dan kepribadian kaum wanita.

Sungguh, musuh-musuh Islam baik dari kalangan misionaris, Marxis,
orientalis, atau lainnya, telah mengekspos kondisi buruk kaum di
beberapa negara Islam, dan menyandarkannya kepada Islam itu
sendiri. Mereka juga berusaha menjelek-jelekkan hukum-hukum
syariat Islam beserta ajarannya mengenai wanita, dan
digambarkannya dengan gambaran yang tidak cocok dengan hakikat
yang dibawa oleh Islam.

Karena itu saya melihat bahwa keunggulan pendapat dari sebagian
orang pada zaman kita sekarang ialah pendapat yang menyadarkan kaum
wanita dan peran serta kaum wanita serta kemampuannya menunaikan
hak-hak fitrahnya dan hak-hak syar'iyahnya, sebagaimana yang
telah saya jelaskan dalam kitab saya al-Ijtihad fi asy-Syari'ati
Islamiyyah.

KETIGA: Bencana Umum

Saya persilakan wanita muslimah yang sedang sibuk
menjalankan dakwah agar tidak memakai cadar, supaya tidak terjadi
pemisahan antara mereka dengan wanita-wanita muslimah lainnya,
karena kemaslahatan dakwah disini lebih penting daripada
melaksanakan pendapat yang dipandangnya lebih hati-hati.

Diantara hal yang tidak diperdebatkan lagi ialah bahwa
terjadinya "bencana umum" (meratanya bencana) di kalangan
masyarakat ialah disebabkan oleh sikap meringankan dan
mempermudah urusan sebagai yang sudah diketahui oleh
orang-orang yang sibuk menggeluti ilmu fiqih dan ushul fiqih,
dan untuk ini terdapat banyak fakta dan data.

Dan bencana telah merajalela pada hari ini dengan keluarnya kaum
wanita ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, tempat-tempat kerja,
rumah-rumah sakit, pasar-pasar, dan sebagainya. Mereka sudah tidak
betah lagi tinggal di rumah sebagaimana pada masa-masa sebelumnya.
Semua ini menuntut mereka untuk membuka wajah dan tangannya agar
memudahkan gerak dan pergaulan mereka dengan kehidupan dan makhluk
hidup, dalam mengambil dan memberi, menjual dan membeli, memahami
dan memberikan pemahaman.

Alangkah baiknya kalau semua persoalan itu hanya berhenti pada yang
mubah atau yang diperselisihkan saja seperti mengenai membuka
wajah dan telapak tangan. Tetapi persoalannya sudah melaju
kepada yang sudah jelas-jelas haram, seperti membuka bahu dan
betis, kepala, leher, dan kuduk, dan wanita-wanita muslimah juga ada
yang melakukan bid'ah-bid'ah Barat (mode-mode) itu. Disisi
lain, kita jumpai pula wanita-wanita muslimah yang berpakaian
tetapi telanjang, yang bergaya dan berlenggak-lenggok dengan
dandanan dan mode rambut sedemikian rupa, persis seperti yang
disinyalir dalam hadits sahih dengan sinyalemen yang sangat jitu dan
tepat.

Bagaimana kita akan bersikap ketat dalam masalah ini, sedangkan
kebebasan dan kebinalan ini sudah terjadi di depan mata kita?

Sesungguhnya peperangan ini tidak hanya seputar "wajah dan telapak
tangan": apakah boleh dibuka ataukah tidak? Tetapi peperangan yang
sebenarnya ialah dengan mereka yang hendak menjadikan wanita
muslimah sebagai potret wanita Barat, dan hendak melepaskan
identitasnya dan melucuti ghirah islamiyahnya, lantas mereka
keluar rumah dengan berpakaian tetapi telanjang, dengan
berlenggak-lenggok miring ke kanan dan ke kiri.

Karena itu tidak boleh bagi saudara-saudara kita dan
putri-putri kita yang "bercadar" serta ikhwan dan
putra-putra kita yang "menyerukan cadar" membidikkan panahnya
kepada saudara-saudara mereka yang "berhijab" (dengan tidak
bercadar) dan ikhwan mereka "yang menyerukan hijab," yang merasa
mantap dengan pendapat jumhur umat. Tetapi hendaklah mereka
membidikkan panahnya kepada orang-orang yang menyerukan budaya
buka-bukaan, telanjang, dan melepaskan adab Islam.

Sesungguhnya wanita muslimah yang mengenakan hijab syar'i itu
sendiri sering berperang (berjuang) menghadapi lingkungannya,
keluarganya, dan masyarakatnya sehingga mereka dapat
melaksanakan perintah Allah untuk mengenakan hijab, maka
bagaimanakah kita akan mengatakan kepadanya: "Sesungguhnya Anda
melakukan dosa dan maksiat, karena Anda tidak memakai cadar"?

KEEMPAT: Masyaqqah (Kesulitan) Mendatangkan Kemudahan

Sesungguhnya mewajibkan wanita muslimah - lebih-lebih pada zaman
kita sekarang ini - untuk menutup wajah dan tangannya berarti
memberikan kesulitan dan kesukaran serta kemelaratan kepada mereka.
Padahal Allah Ta'ala telah meniadakan kesulitan, kesukaran,
dan kemelaratan dalam melaksanakan agama-Nya, bahkan ditegakkan-Nya
agama-Nya itu diatas dasar kelapangan, kemudahan, keringanan, dan
rahmat kasih sayang. Allah berfirrnan:

"... dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama suatu kesempitan ..."
(al-Hajj: 78)

"... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu..."
(al-Baqarah: 185)

"...Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah."
(an-Nisa': 28)

Rasulullah saw. bersabda:

"Aku diutus dengan membawa agama yang lembut dan lapang
(toleran). ,' (HR Imam Ahmad dalam Musnadnya)

Maksudnya, lurus dalam aqidahnya dan lapang dalam
hukum-hukumnya.

Sedangkan para fuqaha telah menetapkan dalam kaidahnya:
"Kesukaran itu menarik kemudahan."

Nabi saw. telah menyuruh kita untuk memberikan kemudahan dan jangan
memberikan kesukaran, memberikan kegembiraan dan jangan menjadikan
orang lari. Kita ditampilkan untuk memberi kemudahan bukan untuk
memberi kesulitan.

BEBERAPA PERINGATAN:

Ada beberapa peringatan penting yang perlu dikemukakan disini
untuk kita perhatikan:

1. Bahwa membuka wajah disini tidak dimaksudkan agar si wanita
memolesnya dengan bermacam-macam bedak dan parfum yang berwarna-warni.
Begitupun membuka tangan disini tidak dimaksudkan agar mereka
memanjangkan kukunya dan mengecatnya dengan apa yang mereka namakan
manukir. Tetapi hendaklah diakeluar dengan sopan, tidak bersolek dan
ber-make-upwarna-warni, dan tidak tabarruj (menampakkan
aurat,berpakaian mini, atau berpakaian yang tipis, atau yang membentuk
lekuk tubuh). Semua yang diperbolehkan disiniadalah perhiasan yang
ringan-ringan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan
lainnya, yaitu celak dimata dan cincin di jari.

2. Pendapat yang mengatakan tidak wajib bercadar tidak berarti mereka
berpendapat bahwa memakai cadar itu tidak boleh. Maka barangsiapa
diantara kaum wanita yang ingin memakai cadar, tidak ada larangan,
bahkan hal yang demikian terkadang disukai - menurut pandangan
sebagian orang yang cenderung bersikap hati-hati, apabila wanita itu
cantik yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, lebih-lebih jika
memakai cadar itu tidak menyulitkannya dan tidak menimbulkan
pergunjingan orang banyak. Bahkan banyak ulama yang mengatakannya
wajib jika kondisinya demikian (bisa menimbulkan fitnah). Tetapi saya
tidak menemukan dalil yang mewajibkan menutup wajah ketika
dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Sebab ini merupakan masalah yang
tidak ada ukurannya, dan kecantikan itu sendiri sifatnya relatif, ada
wanita yang oleh sebagian orang dianggap sangat cantik, tetapi oleh
sebagian yang lain dianggap biasa-biasa saja, dan oleh yang lain lagi
dianggap tidak cantik.

Beberapa penulis bahkan mengemukakan, hendaklah wanita menutup
wajahnya apabila ada laki-laki ingin berlezat-lezat memandangnya atau
mengkhayalkannya. Namun masalahnya, dari mana wanita tersebut
mengetahui bahwa ada laki-laki ingin berlezat-lezat dengannya atau
mengkhayalkannya (sehingga ia wajib menutup mukanya)?

Oleh karena itu, yang lebih utama daripada menutup muka ialah
hendaknya wanita tersebut menjauhi lapangan yang bisa menimbulkan
fitnah, jika ia menaruh perhatian terhadap masalah itu.

3. Bahwa tidak ada kaitan antara membuka wajah dengan kebolehan
melihatnya. Maka diantara ulama ada yang memperbolehkan membuka wajah
tetapi tidak memperbolehkan melihatnya, kecuali pada pandangan pertama
yang selintas. Ada pula yang memperbolehkan melihat apa yang
diperbolehkan melihatnya itu, apabila tidak disertai dengan syahwat;
jika disertai dengan syahwat atau dimaksudkan untuk membangkitkan
syahwat, maka haram melihatnya, dan pendapat inilah yang saya pilih.

Allah-lah yang memberi pertolongan dan petunjuk ke jalan yang lurus.

Catatan kaki:


26 Berbeda dengan masalah ibadah yang pada asalnya tidak boleh
(haram/batil) sehingga ada dalil yang memerintahkannya. Maka orang
yang tidak memperbolehkan melakukan suatu bentuk ibadah tidak dituntut
dalilnya, tetapi yang dituntut mengemukakan dalil ialah orang yang
mendakwakan adanya ibadah tersebut. (Penj.) ^

No comments: